LANGIT, Sampaikan Maafku

LANGIT ,sampaikan Maafku

Langit tak lagi bersahabat. Tapi langit dengan jelasnya melukiskan apa yang aku rasakan. Tangisannya yang tiada henti menjadi keadaanku kini. Aku terpuruk dikesendirian meratapi apa yang kudengar 2 jam lalu. Tatapanku dari balik jendela tak terarah pada apapun yang tanpak, tatapan kosong karena jiwaku melayang, terbayang terpisah dari yang tersayang. Terngiang kata yang tak diinginkan terdengar.

“Broken Home”

Entah apapun yang mereka pikir dengan ucapan itu, bagiku adalah belati yang telah mencacah habis hatiku. Sewajarnya, aku layaknya tak sesakit ini, karena hal ini telah terdengar di pembahasan kedua orang  tuaku akhir-akhir ini. Namun tetap saja, petir yang dari tadi bergemuruh terasa menyambar alam sadarku mendengar kabar pilu via telepon 2 jam lalu. Kebencian itu mulai menghampiri, meminta ijinku untuk kutempatkan di salah satu ruang hatiku, ruang yang dulunya bersemayam yang tersayang, yang terhebat, yang terdekat, “Ayah”.

Dari kamar mungilku, samar-samar hingga terdengar jelas suara adzan dzuhur sahut-menyahut. Aku bangun dari keletihan menahan perihnya goresan di hatiku. Untuk memperbaharui wudu’, kubuka mukena yang dari tadi kukenakan duha sebelum kabar itu menghantamku. Sedikit kesejukan mengaliri hati ketika air wudu dengan lembut menyentuh wajahku. Sujud sembahku pada-NYA ditemani tetesan bening dari mataku.

***

Matahari kian beranjak pergi, langit menampakkan warna merah saga. Seolah memberi kabar tentang malam yang gelap akan datang, gelap tapi damai bagiku, dikesepian hatiku. Handphoneku bordering lagi, entah berapa sms dan telepon yang kuabaikan, terakhir dan sampai saat ini ada satu nama yang muncul di layar handphoneku “My Dad Lovely”. Dan seperti yang lainnya, panggilan itu pun hanya akan menjadi Misscall di Call Log handphoneku. Kebencian itu telah tertancap di hatiku, dan aku tak tahu kapan aku kan sanggup untuk mencabutnya. Walau di keheningan bathinku, masih enggan membuang gelar tersayang bagi ayah. Tersayang, karena aku juga merasakan menjadi yang tersayang bagi ayah. Ayah akan lebih memprioritaskan kebutuhanku dari pada ke tiga saudaraku lainnya.

***

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

Lantunan ayat suci Al-Insyirah itu menyejukan qolbu yang telah terbakar amarah, kufahami artinya dan kurenungi, Tuhan tidak akan menguji aku melebihi kemampuanku, dan akan selalu terselip pertolongan disetiap ujian-Nya. Aku khatamkan juz 30 malam itu dan setelahnya, aku terlelap dalam damainya malam.

***

13 hari kehidupan tanpa suara ayah, sangat menyiksaku.

Telingaku mendengar suara tangisan yang terdengar tidak hanya dari satu orang, mataku mencari dan aku beranjak keluar dari kamarku. Kupastikan bahwa aku ada dirumah, bukan dikos-kosanku. Di ruang tamu yang biasanya ada shofa lengkap dengan meja dan bunga lily kesanganku diatasnya kini tak lagi ada, yang kulihat hanyalah keramaian orang, mulai membaca sesuatu yang tak asing lagi bagiku, surah Al-Kahfi. Mereka duduk melingkar dan hatiku berdegup ketika melihat sosok yang terbaring terselimuti kain panjang tertutup dari bagian kepala hingga kaki. Wajahnnya tak dapat kulihat, kesedihan mendalam mulai mendatangiku, kupandangi sekeliling. Ibu dan ketiga saudaraku lainnya tenggelam dalam tangis pilu. Mataku mulai mencari ayah, hanya untuk memastikan, siapa dibalik kain panjang itu. Dan hatiku menjerit ketika aku tak menemukan ayah di ruangan itu.

Tak ada yang dapat aku ucap, mulutku bungkam. Air mata yang mengalir bahkan aku tidak tau kapan mulai terjatuh. Aku mendekati ibuku, kupeluk dia dan saudaraku. Namun hanya kehampaan yang aku dapat, aku bagaikan memeluk udara, bahkan tanganku tak bisa hanya sekedar mengusap air mata ibuku. Aku heran, dengan apa yang terjadi. Keanehan yang tak bisa ku jangkau dengan logika. Aku semakin tak mengerti dengan semua keadaan ini, dan suara keras yang begitu menggangu makin terdengar jelas.

“Astagfirullah”

Aku terbangun dari mimpi yang sangat tidak ku inginkan.  Ku matikan alarm di hp ku, jam 03.16 wita. Beranjak wudu, dan mulai larut dalam sujud panjang. Kutumpahkan semua beban yang aku rasakan, karena hanya Dia tempat bersandar. Kerinduan yang sangat pada Ayah aku adukan pada-NYA, kerinduan yang mulai meluluhkan kebencian yang aku tancapkan. Tekadku bulat, aku akan menghubungi ayah setelah subuh nanti. Meskipun hanya dengan suaranya, aku berharap dapat mengobati sedikit kerinduan.

Diseberang sana terdengar suara yang tidak kuinginkan menyahut lewat telepon.

“haloo,, Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam”

“Aku ingin bicara dengan ayah, tidak denganmu”

“owh,, ternyata si anak emas yang telah mengecewakan ayahnya”

“Apa maksudmu ?”

“Kamu terlambat, ayahmu marah besar karena kamu telah mengacuhkan setiap teleponnya, lalu sekarang untuk apa kamu menghubungi ayahmu ? dia sudah tak ingin mendengar namamu kusebut. kau tak lebih ibaratnya malin kundang dimata ayahmu sekarang. Jangan pernah menghubungi kami lagi. Kami sudah bahagia tanpa kalian anak-anaknya”

Telepon kumatikan, perih hatiku mendengar cercaan dari wanita yang telah menghancurkan kehidupan keluarga kami. Luka hati yang telah berdarah, seakan ditambah lagi dengan hujaman belati. Kupandangi langit yang tak nampak indah birunya. Langit mendung, hujan yang deras akan segera mengalir menyusul derasnya darah di luka bathinku.

Tak peduli dengan tatapan aneh teman-teman di kos yang melihat  mataku sembab. Aku berjalan menyusuri koridor dan sekarang aku telah nekat menembus hujan dengan motorku tanpa pelindung jas hujan atau sejenisnya. Kubiarkan hujan membasahi dan terus mengalir tubuhku, aku tiba di tepi pantai masih ditemani hujan. Kutatapi deburan ombak menggulung dihadapanku. Berharap ada sedikit obat untuk luka yang makin terbuka lebar. Lama, tanpa peduli dengan dingin yang kian menusuk tubuh kurusku, menembus kulit, merayapi ulu hati. Aku rasakan langit berputar dan meski telah puas melepas hujan, langit mendung kini benar-benar gelap. Kegelapan menyelimuti.

***

“Esta, bangun,, Ta.. Bangun”

Mataku mulai menemukan adanya cahaya, terhirup wangi misik yang khas menusuk hidung, dan aku tersadar kembali.

“Alhamdulillah, kamu kenapa ta merelakan diri ujan-ujanan ngelamun di tepi pantai, untung tadi ada deni yang nemuin kamu dan mengantarmu”

Aku hanya dapat menjawab dengan senyuman, memandang wajah fitri dan deni yang masih menyisakan kekhawatiran. Mulutku masih kaku untuk bergerak, lidahku kelu untuk berucap, namun hangatnya kamar mungilku mampu menentramkan jiwa yang kenyataannya memang memberontak dengan keadaan ini.

***

Entah apa yang terjadi, dua hari ini seakan-akan mendung begitu mencintai langit, seolah menjadi sepasang kekasih yang tak terpisah. Hari ini aku merasakan sesuatu yang aneh, perasaanku mengatakan, akan ada sesuatu yang hilang, entah apapun itu. Tapi bagiku waktu itu tidak lama lagi, makin mendekat dan mendekat. Hp ku berbunyi, ada satu pesan dari sepupuku Arni.

“Ta, ayah sakit. Sekarang beliau tidak sadarkan diri di Rumah Sakit. Aku harap kau menanggalkan kebencianmu, sebagaimana yang ibu tirimu katakan. Ayah merindukanmu, bahkan di alam bawah sadarnya dia masih menyebut namamu. Pulanglah Ta, kumohon.”

Aku tersentak, pikiranku kacau. Tanpa berpikir panjang, aku raih ransel dan jaket mengendarai motorku untuk pulang menemui ayah, akan kupeluk dan kusampaikan bahwa aku tak akan dapat membencinya selama yang beliau pikirkan. Sepanjang perjalanan hanya terbayang wajah ayah. Sesekali aku menatap langit yang tak lagi biru, lirih kuberucap agar langit dapat menyapaikan permohonan maafku untuk ayah. Entah mengapa pikirku, aku tidak akan dapat meminta maaf pada ayah secara langsung. 80 Km/H kecepatan yang menurutku masih kurang dan kurasa akan memperlambat pertemuanku dengan ayah. Masih setengah dari perjalanan yang sudah aku lalui. Kecepatan aku naikkan, tanpa peduli hujan yang mulai rintik dan kian deras menghujamiku. Pikiranku hanya terisi dengan satu kalimat,

“Maafkan, Esta ayah”

“Maafkan, Esta”

“Esta mencintai ayah, sebagaimana yang Allah inginkan”

Tiba-tiba wajah ayah begitu jelas di depanku, disampingnya ada ibu dan ketiga saudaraku, mereka tersenyum memandangku. Seakan mereka telah ikhlas memaafkan setiap kesalahanku, seikhlas langit yang melepas hujan. Wajah ayah sangat jelas didepanku, tersenyum memberi dan menerima maafku, seperti tak ada hijab antara kami. Lirihku mulai berucap kembali.

“Esta minta maaf, Esta mencintai kalian. Maafkan Esta”

“Maafkan, Esta”

Dan ,,

DUAAAAAARRRRRRRRRRR…………..

Hantaman begitu keras aku rasakan,

Aku terpelanting begitu jauh, kepalaku membentur benda keras, dan hujan membasahi warna merah yang begitu kukenal mengalir dari kepalaku. Kulihat mereka mengerubuniku. Entah darimana, ada suara yang sangat halus dan lembut dan sangat kukenal membisikkan kalimat ditelingaku, tanpa diminta lidahku pun mengikuti setiap kalimat-kalimat indah itu. Kak Winar, kakakku yang telah meninggal bertahun-tahun lalu, kini begitu jelas di depanku menuntunku untuk berjalan mengikutinya. Tangannya begitu lembut mengajakku.

Mulutku tak henti melirihkan syahadat walau aku rasakan sesuatu dari tubuhku ditarik begitu kuat, sangat sakit, tak pernah kurasakan sakit sesakit ini. Akupun berharap dikesakitanku agar tak ada lagi orang yang mendapati rasa sakit ini. Tertarik dari ubun-ubunku begitu kuat, terasa bertaut antara betis kiri dan kanan begitu sakit, seolah setiap sendiku terputus, hatiku terbelah, jantungku meledak, otakku pecah. Dan akhirnya kurasakan sesuatu itu telah terpisah dari ragaku. Sesaat kemudian kedamaianpun menghampiriku.

Terlukiskan senyum terindah  untuk yang terakhir dari wajah manisnya. Sarlian Esta Sathira.

Inspiration : ketika mati lebih indah terbayang.darah cinta